SAH! TOK TOK TOK!
Pada 12 April 2022, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) formal disahkan jadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Apresiasi sebesar-besarnya untuk DPR RI dan KPPPA RI yang berpihak kepada korban kekerasan seksual bersama disahkannya undang-undang yang berpihak kepada korban kekerasan seksual.
Secara substansi, terkandung banyak usulan berasal dari penduduk sipil dan lembaga layanan yang diakomodir. Di antaranya adalah tindak pidana kekerasan seksual meliputi pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan strerilisasi, pemaksaan perkawinan, eksploitasi seksual, kekerasan seksual berbasis elektronik, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual.
Terobosan di dalam hukum acara yaitu barang bukti jadi alat bukti dan restitusi juga rencana slot kakek tua dana bantuan bagi korban atau victim trust fund. Lembaga penyedia layanan berbasis penduduk juga masuk sebagai lembaga yang mengimbuhkan pendampingan korban. Undang-undang selanjutnya kelanjutannya juga mengimbuhkan ketentuan yang melarang pelaku kekerasan seksual untuk mendekati korban di dalam jarak dan saat tertentu selama berlangsungnya proses hukum. Ketentuan ini jadi ujung tombak keselamatan korban kekerasan seksual supaya korban safe dan tidak kudu melarikan diri berasal dari pelaku. Adanya ketentuan berkenaan hak korban, keluarga korban, saksi, pakar dan pendamping merupakan usaha untuk menegaskan pemenuhan hak korban di dalam meraih keadilan dan pemulihan, sekaligus mengimbuhkan bantuan bagi keluarga, saksi, pakar dan pendamping korban.
Namun sayangnya, tetap tersedia substansi yang belum masuk ke di dalam UU TPKS, yaitu perkosaan dan pemaksaan aborsi. Jenis tindak pidana perkosaan yang belum terakomodir selanjutnya akan dimasukkan ke di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dijanjikan akan dibahas pada bulan Juni mendatang. Artinya, di dalam proses tunggu pembahasan tersebut, kudu dipastikan bahwa substansi yang belum terakomodir di dalam UU TPKS bisa terakomodir di dalam RKUHP.
Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, tercatat selama 2021 bahwa tersedia sebanyak 2363 masalah kekerasan seksual di ranah personal bersama 597 masalah di antaranya merupakan masalah perkosaan. Selain itu, berdasarkan information berasal dari LRC-KJHAM, pada th. 2021, tersedia sebanyak 85 masalah kekerasan pada perempuan. Dari 85 masalah tersebut, 34 di antaranya ialah masalah kekerasan seksual.
HopeHelps menerima/mendata sebanyak 40 laporan berkenaan kekerasan seksual yang melibatkan sivitas akademika sebagai pelaku dan korban. Pun bersama Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Diponegoro yang udah melaksanakan survei kekerasan seksual pada th. 2021. Dari survei tersebut, diketahui bahwa berasal dari sebanyak 771 mahasiswa sebagai responden, 173 (22,44%) mahasiswa di antaranya dulu mengalami/melihat/mengetahui pelecehan seksual di Undip, 39 (5,06%) dosen sebagai pelaku kekerasan seksual, 114 (14,79%) mahasiswa sebagai pelaku kekerasan seksual, dan 74 (9,59%) mahasiswa sebagai korban kekerasan berbasis gender online (KBGO) selama pandemi.
Kendati UU TPKS udah disahkan, penduduk tetap kudu mengawal implementasi undang-undang ini supaya cocok slot garansi 100 bersama ihwal pembentukannya, yaitu mengimbuhkan bantuan kepada korban kekerasan seksual. Berangkat berasal dari situasi darurat diatas, selain penyambutan kabar baik dan apresiasi, Jaringan Masyarakat Sipil Jawa Tengah mendesak:
. Jaringan Masyarakat Sipil Jawa Tengah mendesak pemerintah supaya segera mengakibatkan rumusan keputusan turunan berasal dari UU TPKS
Jaringan Masyarakat Sipil Jawa Tengah mendesak supaya RKUHP segera dibahas mengingat perkosaan dan pemaksaan aborsi dijanjikan akan diakomodasi oleh RKUHP
Jaringan Masyarakat Sipil Jawa Tengah mendesak supaya substansi RKUHP berkenaan perkosaan dan pemaksaan aborsi kudu progresif dan berperspektif korban
Jaringan Masyarakat Sipil Jawa Tengah merekomendasikan pasal perkosaan di dalam RKUHP menegaskan secara bernas berkenaan intensi persetujuan korban serta hak-hak korban
Jaringan Masyarakat Sipil Jawa Tengah mendesak supaya pembahasan pasal pemaksaan aborsi di dalam RKUHP bisa berperspektif gender dan tidak miliki celah yang bisa mengkriminalisasi korban
Jaringan Masyarakat Sipil Jawa Tengah mendesak supaya total pembahasan keputusan RKUHP bisa berperspektif gender dan tidak mengkriminalisasi grup LGBTIQ
Jaringan Masyarakat Sipil Jawa Tengah mendorong implementasi UU TPKS yang berperspektif korban
Jaringan Masyarakat Sipil Jawa Tengah mengapresiasi pihak-pihak yang udah bekerja keras mewujudkan keputusan slot bet kecil hukum yang progresif dan berperspektif korban. Sejalan bersama tuntutan di atas, Jaringan Masyarakat Sipil Jawa Tengah berkomitmen mengawal keputusan hukum yang ramah gender dan tetap berusaha mengimbuhkan ruang safe bagi grup rentan. Kami meminta pemerintah miliki komitmen yang mirip bersama upaya-upaya pembentukan hukum yang progresif dan berperspektif korban.